UNITED4D - Panitia Khusus (Pansus) RUU Penyelenggaraan Pemilu berangkat ke Jerman dan Meksiko untuk melakukan studi banding mengenai sistem pemilu di negara tersebut. Salah satu yang menjadi kajian terkait sistem pemilu, partai politik, pembiayaan kampanye, hingga sistem e-voting.
Baca Juga :
Peluru Sebesar Jagung Ditemukan di Jalan Gatsu Mampang Prapatan
Di Jerman, anggota Pansus berdiskusi dengan ahli politik dan analis politik Asia Selatan Prof Dr Andreas Ufen dari GIGA Hamburg di Wisma KBRI, Minggu (12/3). Ketua Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu Lukman Edy menyebut Ufen merupakan ahli politik yang direkomendasikan oleh KBRI Jerman untuk memberi masukan kepada Pansus selama di Jerman.
Dari hasil diskusi tersebut, Lukman mengatakan partai politik sangat kuat di Jerman. Sejak masa sekolah, orang-orang Jerman sudah diajari pendidikan politik.
"Partai politik memiliki pendidikan dan pelatihan kepada calon-calon kader politik sejak dini. Pendidikan tentang politik sudah diajarkan sejak masa sekolah. Akan tetapi, apabila terdapat orang-orang yang memiliki bakat atau karakter untuk masuk ke dalam partai politik, diperlukan sebuah pendidikan dan pelatihan kepada kader politik tersebut," kata Lukman dalam keterangan tertulis yang diterima Senin (13/3/2017).
Lukman menyebut sistem pemilu Jerman menggabungkan dua aspek, yaitu sistem perwakilan berimbang atau sistem pemilu campuran. Setengah anggota kursi dewan diperebutkan melalui sistem pemilihan langsung, kemudian setengahnya lagi melalui sistem pemilihan proporsional berdasarkan daftar kandidat.
"Setiap pemilih Jerman memilih satu kali dengan dua suara di atas satu kertas suara. Dengan suara pertama, ia memilih nama seorang kandidat. Ini merupakan pemilihan langsung. Kandidat dengan suara terbanyak di satu daerah pemilihan akan masuk parlemen. Sistem ini disebut sebagai sistem pemilihan langsung yang dipersonalisasi," bebernya.
"Suara kedua, pemilih memilih nama satu partai. Jumlah perolehan suara satu partai akan menentukan perbandingan atau porsi partai di parlemen yang dikonversikan ke jumlah kursi. Ini adalah pemilihan tidak langsung. Siapa yang menjadi anggota parlemen ditentukan oleh partai, dengan menyusun daftar kandidat berdasarkan nomor urut. Sistem ini disebut disebut sebagai sistem pemilihan proporsional," sambung Lukman.
Lukman mengatakan sistem campuran yang diberlakukan di Jerman diklaim sistem pemilu yang terbaik di dunia. Mengutip Ufen, Lukman menyebut sistem pemilu ini akan sulit diterapkan di Indonesia yang menganut sistem presidensial.
"Prof Andreas Ufen mengatakan sistem campuran yang diberlakukan di Jerman merupakan sistem pemilihan umum yang terbaik di dunia. Hal ini dikarenakan adanya proporsionalitas yang jelas antara jumlah suara dengan keberadaan jumlah anggota parlemen. Tetapi Prof Andreas Ufen mengatakan pada dasarnya Indonesia akan sulit menerapkan sistem campuran seperti yang terdapat di Jerman. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki sistem presidensial," paparnya.
Lukman menambahkan, Jerman memiliki ambang batas minimum 5 persen untuk bisa masuk parlemen. Angka 5 persen ini dianggap sudah memadai.
"Pemilu di Jerman juga memiliki batas minimum 5% untuk bisa masuk parlemen (ambang batas 5%). PT 5% sudah baik, jika bertambah, maka akan terlalu banyak. Apabila PT dinaikkan menjadi 10%, akan menyulitkan bagi partai-partai politik, sehingga perlu dipikirkan keberadaan partai politik yang kecil. Banyak negara yang hanya menerapkan 3% atau 4%," kata dia.
Dari hasil diskusi tersebut, perlu ada batasan untuk sistem presidensial. Lukman menyebut, jika tidak ada batasan, akan menyebabkan fasisme demokrasi terpimpin.
"Sistem presidensial perlu ada batasan. Hal ini dikarenakan, apabila sistem presidensial dilakukan secara tidak terbatas, akan menyebabkan fasisme demokrasi terpimpin," ujar Lukman.
Politikus PKB itu mengatakan perlu lembaga penyeimbang dalam sistem presidensial tersebut. Parlemen, kata dia, hadir sebagai lembaga penyeimbang sekaligus pengawas yang bertugas untuk sistem presidensial itu.
"Oleh karena itu, diperlukan sebuah lembaga yang dapat melakukan penyeimbang dalam segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem presidensial tersebut. Lembaga ini bertugas melakukan pengawasan-pengawasan terhadap apa yang dilakukan oleh seorang presiden. Parlemen merupakan lembaga yang bertugas untuk hal tersebut," papar dia.
Jumlah anggota parlemen Jerman, kata Lukman mengutip Ufen, juga terus bertambah. Hal tersebut karena ada kelebihan mandat.
"Jumlah anggota parlemen di Jerman bertambah secara terus-menerus. Hal ini dikarenakan adanya kelebihan mandat. Pengaturan terkait dengan bertambahnya jumlah anggota parlemen ini sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan di Jerman terkait dengan penyetaraan jumlah kursi," urai Lukman.
Sementara itu, soal kampanye, anggaran di Jerman berasal dari negara dan setiap partai politik diberi kesempatan yang berimbang baik untuk waktu, biaya, dan isi. Jika partai politik ingin berkampanye melalui media swasta juga bisa, namun harus membayar sejumlah uang.
"Apabila partai politik ingin melakukan kampanye melalui media swasta, diharuskan membayar sejumlah uang untuk melakukan hal tersebut. Akan tetapi hal ini hanya sedikit, sekitar 35% dari seluruh jam tayang iklan komersial yang dimiliki oleh media swasta tersebut," beber Lukman.
Oleh karena dibiayai negara, partai politik harus bertanggung jawab dengan transparansi anggaran. Ada sanksi yang dibayarkan jika terdapat anggaran yang tidak dilaporkan.
"Partai politik harus memiliki transparansi dalam hal penggunaan anggaran. Uang yang masuk dan keluar harus dilaporkan setiap saat. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya skandal atau kecurangan dalam pembiayaan anggaran politik. Oleh karena itu, apabila terdapat anggaran yang tidak dilaporkan, partai politik tersebut akan mendapatkan sanksi yang lebih besar dari anggaran yang digunakan tersebut," ungkapnya.
"Pembiayaan partai politik menjadi sangat penting untuk diatur. Pembiayaan partai politik ini harus menggabungkan antara pembiayaan partai politik dengan pengaturan tentang partai politik tersebut. Partai politik yang tidak dapat menjalankan sistem demokrasi tidak akan mendapatkan anggaran. Setiap suara yang diperoleh partai politik dinilai 70 sen (setara Rp 8.000-an, bandingkan dengan Indonesia Rp 108)," sambung Lukman.
Untuk sistem electronic voting (e-voting), Jerman mencatat banyak kecurangan yang dilakukan melalui sistem tersebut sehingga, melalui Mahkamah Konstitusi, Jerman tidak lagi menggunakan sistem ini.
"Jerman sudah tidak menggunakan sistem electronic voting. Electronic voting pernah dilakukan di beberapa negara bagian. Tapi, karena adanya banyak kecurangan melalui sistem electronic voting tersebut, akhirnya Mahkamah Konstitusi Jerman memutuskan electronic voting tidak dapat diterapkan di Jerman," papar dia.
Selain itu, kelemahan sistem ini adalah biaya yang mahal dan rentan kejahatan siber. Jika teknologi ini akan diaplikasikan, pertimbangannya melalui sistem offline.
"Penggunaan electronic voting membutuhkan biaya yang sangat banyak. Electronic voting juga sangat berbahaya. Hal ini karena adanya kejahatan siber yang dilakukan oleh berbagai negara. Kejahatan siber dapat membuka data terkait dengan kependudukan, proses pemilu, bahkan dapat memanipulasi hasil pemilu dan lain-lain. Oleh karena itu, electronic voting dapat membahayakan proses pemilihan umum secara khusus," tutur Lukman.
"Apabila mau melakukan electronic voting, maka dapat dilakukan secara offline, sehingga data yang dimiliki oleh penyelenggara pemilu atau pemerintah tidak dapat disabotase atau disalahgunakan oleh orang lain. Hal ini juga mengingat struktur geografis Indonesia yang tidak seluruh wilayahnya terjangkau oleh internet dan budaya masyarakat yang berbeda-beda. Perlu juga dipikirkan terkait dengan orang-orang yang belum melek teknologi," pungkasnya.
Bandar Togel Terpercaya, Bandar Togel Online, Agen Togel Terpercaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar